Libur kedua PKL kali ini, kami pergi ke beberapa tempat wisata di Semarang, lebih tepatnya 3 tempat. Pertama, kami ke Goa Kreo. Kedua, kami ke Klenteng Sam Poo Kong. Ketiga, kami ke Masjid Agung Jawa Tengah. Tentunya kami gak langsung mendatangi tempat-tempat itu.
Kami jalan dari Limbangan sekitar 07.30, dan kami tiba di Goa Kreo kurang dari satu jam. Sempat aku berpikir itu belum masuk Semarang, tapi ternyata sudah.
Harga tiket masuk di sana tergolong murah kalau naik sepeda motor, yaitu Rp 5.500,00 untuk akhir pekan, dan tiket per-orangnya Rp 1.000,00. Untuk harga objek wisata Kota Semarang, itu tergolong murah. Selain Goa Kreo, sevebarnya ada lagi di sana, yaitu Waduk Jatibarang. Bisa naik speedboat untuk keliling waduk. Tapi, karena sepertinya mahal, kami gak ke sana.
Wisata Goa Kreo terdiri dari 2 buah goa, yaotu Goa Landak dan Goa Kreo. Aku tanya ke Mbah yang ada di sana (bukan mbah yang tidak kasat mata). Goa Kreo itu dipakai oleh Sunan Kalijaga untuk bertapa. Kata “kreo” sendiri punya arti “membantu” dalam Bahasa Jawa. Kalau Goa Landak entah kenapa dinamai begitu, tapi juga dipakai untuk bertapa. Tapi, kalau baca di prasasti di depan, kata “kreo” berarti “jagalah”. Well, aku percaya sama keduanya, karena bermakna serupa.
Baik Goa Landak maupun Goa Kreo, dalamnya tidak panjang, bahkan tidak tinggi untuk bisa berjalan tegak di sana. Jalan harus sambil bungkuk atau jongkok. Tidak begitu dalam, tapi bisa dimasuki.
Di dalam Goa Landak ada patung harimau yang sebenernya cukup menakutkan. Patung itu menyambut kami saat masuk dengan bantuan senter. Udara di dalam pengap dan panas, minim kadar oksigen. Kalau gak kuat, disarankan gak masuk ke sana. Apalagi, di dalam Goa Landak itu juga mebjadi tempat tinggal kelelawar kecil.
Kami sengaja mampir lebih dulu ke Goa Landak yang lebih ke ujung. Dari sana, barulah kami ke Goa Kreo.
Mengejutkan. Di dalamnya ada patung dengan sisa-sisa dupa dan sajen di sekelilinhnya. Goa yang ini tidak sedalam Goa Landak, dan lebih terang, juga lebih banyak kadar oksigennya dibanding Goa Landak.
Kalau dari segi kemistisan, sebagai orang yang gak peka, aku bilang gak begitu mistis. Tapi, tetap jaga sikap dan perkataan.
Jalan dari wilayah parkiran ke goa itu harus menyeberangi waduk melalui sebuah jembatan pejalan kaki. Jalan yang kubilang cukup banyak hiburan dari monyet-monyet liar. Bisa saja beli kacang atau pisang di warung dekat parkiran sepeda motor, tapi kami tidak beli.
Prasasti itu bilang bahwa tempat ini punya 3 makna, yaitu hubungan manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Pesanku. Pertana, jangan buang sampah sembarangan. Kedua, jangan mengganggu monyet-monyet di sana. Ketiga, jaga sikap, kata, dan perbuatan.
Setelah keliling di sana, kami rehat sebentar di warung untuk menikmati gorengan. Ada beberapa pilihan, seperti mi ayam, pop mi, gado-gado, kelapa muda, es jeruk, dan lainnya. Lumayan buat leyeh-leyeh habis naik tangga lumayan banyak sekembalinya dari goa. Btw, tahunya enak loh.
Jam 9-an kami meninggalkan wisata itu. Kami pergi lebih ke kota lagi. Di jalan, kami mampir untuk beli Nasi Gandul. Itu masakan khas Jawa Tengah (Solo kalau gak salah, atau mana gitu). Nasi dikasih kuah sedikit bersantan dan berminyak, ditambahkan dengan lauk-lauk yang bisa dipilih, kalau gak usus sapi, paru, telur, dan babat. Karena aku gak begitu suka usus dan babat, jadi aku pilih paru dan telur. Untuk masalah harga sekitaran 20an kalau pakai dua pilihan lauk, kalau hanya satu pilihan lauk harganya belasan. Aku bilang itu mahal. Tapi, lumayanlah, enak.
Habis makan, kami ke Klenteng Sam Poo Kong.
Ada 2 pilihan tiket, tiket terusan atau tiket biasa. Kalau tiket terusan, bisa masuk ke dalam bangunan-bangunan peribatan, tapi haganya mahal, Rp 28.000,00. Budget kami minimalis, jadi kami pilih yang biasa, dengan harga tiket akhir pekan Rp 8.000,00.
Lumayan luas klentengnya, dan sebenarnya gak banyak yang bisa dinukmati kalau hanya di luar saja. Kalau uang banyak, kami bakal pilih tiket terusan. Tapi, di luar juga gak kalah seru, soalnya bisa nonton pertunjukan Barongsai. Sedikit hiburan lah. Oh ya, dan di sana banyak spot-spot foto yang bagus. Lihat-lihat ke bawah, nanti bisa menemukan tulisan “spot foto”.
Berhubung sudah hampir jam 12, kami pun meluncur ke Masjid Agung Jawa Tengah. Sebelumnya, itu masjid wakaf yang kemudian direnovasi menjadi lebih megah dan besar. Jalan ke sana kecil, tapi banyak bus yang keluar masuk. Muacet dan padet. Lebih kerasa lagi kalau perginya siang-siang, puanas.
Jujur saja. Batas sucinya kejauhan dengan tempat sholatnya. Memang ada payung-payung besar, tapi sepertinya masih diperbaiki. Paling tidak, kami harus berjalan 50-100 meter untuk ke tempat sholatnya. Kaki melepuh, sampai harus lari-lari dari bayangan payung ke bayangan payung satunya. Tapi itu cukup nenyenangkan, apalagi lihat ibu-ibu kesulitan lari (durhaka kamu nak!).
Pulang dari sana sekitar jam 3, sekalian Sholat Ashar. Langit mendung, dan saat kami jalan ke parkiran, hujan gerimis mulai turun.
Kami ada janji jam 16.00 di toko roti punya Bu Isma, Suoer Roti. Rotinya lumayan enak. Roti itu kami beli untuk sampel untuk acara pelantikan tahun depan. Emang jauh dari Surabaya, tapi gak tahu juga sih. Kalau bisa sih bentuk uang, bukan produk.
Selesai dari mengurus roti itu sudah maghrib, jadi kami cari tempat untuk sholat. Habis itu kami cari makan. Soto sapi dan mi ongklo. Soto sapi udah biasa, tapi aku baru tahu mi ongklok, dan makanan pendamping mi ongklok adalah sate sapi. Satenya suh enak, tapi aku gak selerea sama mi ongklok.
Niatnya mau lanjut ke Lawang Sewu versi malam, tapi gak jadi karena supir kelelahan. Kami sampai jam 20.30an.
Berikut beberapa foto lainnya..
Dan, begitulah perjalanan kami wkwk
Bye bye – Si Tiaz 😆